"Tontonan Jadi Tuntunan, Tuntunan Jadi Tontonan" adalah pribahasa Jawa yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Meskipun sederhana, ternyata pribahasa ini memiliki arti yang lumayan mengena. Seakan-akan pribahasa ini dibuat untuk kita, generasi muda yang mulai dibutakan oleh jaman.
Sudah sangat jelas, tidak asing lagi bagi siswa SD untuk menyatakan cinta kepada teman lawan jenisnya. Atau siswa SMP yang sudah berani gandengan tangan, pelukan, bahkan cipika-cipiki.
Atau yang lebih gila lagi, dunia anak SMA yang sudah seakan kelewat batas. Ke sekolah pakai lipstik, rok sekolah dibuat ketat melebihi pramugari, hingga baju yang divermak agar kemolekan tubuh terlihat. Mau belajar, atau mau syuting?
Semua itu karena tontonan remaja yang disuguhkan oleh kehidupan sekolah yang serba tentang cinta. Pandangan pertama yang diawali dari tabrakan kecil, dan tangan keduanya bertemu ketika hendak mengambil buku.
Jika di sinetron ftv, siswi SMA menggunakan rok pendek sampai paha, menggunakan stocking layaknya di korea, baju seragam ketat, rambut di cat, wajah putih bibir merah menggoda. Well, hal ini jelas tidak masuk akal, namun remaja kita menjadikan itu sebagai "tuntunan" dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya itu, acara-acara tv yang tidak mendidik-pun juga sudah menjamur dimana-mana. Contoh kecil adalah kita melihat seorang kepala pelontos yang dibully bersama, dicela dengan guyonan ikan teri, sedangkan penonton bayaran tertawa, kemudian disiram bedak putih, dan kita sebagai penonton dirumah ikut tertawa.
Sekarang pertanyaannya, apa yang kita tertawakan? Melihat orang itu dibully? Melihat ketika bedak itu disiram? Well, inilah salah satu penyebab generasi penerus yang sangat suka mencaci maki dan menghujat seseorang. Hal ini menjadi tuntunan bagi masyarakat. Ketika kita jadi senang membully seseorang walaupun hanya "bercanda". Jika orang itu tersinggung? Santai aja, tinggal bilang "masa gitu aja baper."
Selanjutnya, sinetron keluarga yang sangat disukai kalangan ibu-ibu.
Tentu kita tahu sinetron seorang tukang bubur yang mampu naik haji dari hasil dagang buburnya? Well film tersebut adalah salah satu ide film yang mendidik. Tapi tidakkah lihat sekarang? Bahkan sampai tokoh utama film itu sudah meninggal, film itu masih eksis berjalan. Dengan jalan cerita yang mudah ditebak dan alur protagonis-antagonis yang penyebabnya selalu sama. Anatara dengki dan iri, cinta dan harta.
Jalan cerita yang terlalu banyak drama dan tidak masuk akal inilah yang menjadi tuntunan bagi masyarakat. Tidakkah kita sering melihat dalam lingkup tetangga, tidak jarang mereka saling membenci? Membicarakan orang lain? Menyebar fitnah? Yang sebenarnya semua dilandasi oleh ketidaksukaan dan rasa iri? Well, lagi-lagi. Tontonan menjadi tuntunan.
Terakhir, kualitas layar lebar Indonesia pada genre horror yang tak menunjukkan pelajaran moral sama sekali. Meskipun, secara overall perfilman Indonesia sudah bisa dikatakan terus berkembang ke arah positif.
Tidakkah kita melihat, mayoritas judul film horror Indonesia selalu terselip kata-kata yang akan mengarahkan penonton kepada sesuatu yang "porno".
Tali Poc*ng Perawan, Sust*r Keramas, Arw*h Goyang Karawang, Pacar Hantu Peraw*n, Poc*ng Mandi Goyang Pinggul, Pelukan Janda H*ntu Gerondong, dan lain sebagainya.
Apalagi, film horror Indonesia tidak akan terlepas dari wanita cantik dan seksi, dengan pakaian ketat, dan ada adegan mandi disitu, atau adegan "porno" lainnya (walaupun dibuat secara semu sehingga tidak melanggar lembaga sensor).
Kata seperti perawan, goyang, janda, dan lainnya memang menarik penonton untuk menyaksikan film tersebut. Ya, justru penonton akan menunggu adegan-adegan yang dinantinya. Bukan jalan cerita yang menegangkan ataupun momen-momen ketika hantunya menampakkan diri.
Hal ini justru menjadikan industri film indonesia seakan menjatuhkan martabatnya sendiri. Sekalian saja buat film komedi dewasa dan jangan membawa kedok "horror" agar nuansa gelap di bioskop tidak dijadikan ajang untuk mesum.
Wajar rasanya jika penikmat film di Indonesia lebih suka film luar negeri daripada negeri sendiri. Pasalnya, Pertelevisian Indonesia (termasuk perfilman) selalu mengutamakan rating, bukan kualitas. Sehingga film / tontonan yang disajikan selalu sama alurnya. Namun pertanyaannya, mengapa rating itu bisa tinggi? Apakah seburuk itu selera masyarakat kita? Selalu senang menyaksikan tontonan untuk saling membenci/menghujat daripada yang mendidik?
Hal ini juga akan membawa masyarakat untuk menjadikan "Tuntunan" hanya akan menjadi sebuah tontonan. Ketika bulan Ramadhan tiba, mereka beramai-ramai membuat program acara kultum, tausiyah, bahkan membuat acara yang jika di bulan lain terlalu vulgar, kini jadi bertemakan religi.
Dan ketika bulan Ramadhan berlalu? Semua kembali seperti semula. Seakan semua hanyalah penyejuk batin sementara demi mengejar rating dan keuntungan pihak tertentu.
Harusnya, pribahasa "Tontonan Jadi Tuntunan, Tuntunan Jadi Tontonan" bisa menjadi pengingat kita, bahwa apa yang kita tonton akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan mental masyarakat. Seharusnya, pemerintah dengan "revolusi mental"nya bisa memulai revolusi dari pembenahan terhadap kedua sistem ini. Sehingga kita sebagai masyarakat akan disuguhkan tayangan yang mendidik dan berkualitas.
Jika kedua itu sudah kembali pada jalur dan tujuan awalnya, tentu SDM kita akan meningkat, dan hal ini akan berpengaruh terhadap meningkatnya daya saing untuk mendorong pertelevisian atau perfilman yang berkualitas nantinya.
source : HIDDEN SECRET https://timeline.line.me/post/_dchwlHvlvK3cj3YqHXMODa9_fDv94lk1FovVwro/1148500586506059725